Thursday, May 24, 2007

Mengembalikan DDI ke Pangkuan Ulama

Oleh: Nurhayati Rahman



Ketika saya meminta pendapat ibuku - seorang wanita tua yang separuh dari hidupnya ia abdikan untuk mendampingi suaminya Almarhum AG.H.Abd.Rahman Matammeng, salah seorang tokoh utama DDI – tentang kasak-kusuk di seputar DDI dan dimana saya harus memilih. Sejenak wajah tuanya tepekur, lama baru beliau menyahut: “Kau harus berdiri di barisan ulama.” Malamnya, saya langsung mengontak seorang ulama besar Indonesia yang juga salah seorang pendiri DDI, AG.H.Ali Yafie (mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia) menanyakan tentang hal yang sama: jawabnya juga sama dengan ibuku: di barisan ulama. Sejak saat itu, saya rajin mengikuti perkembangan DDI sampai dicetuskannya deklarasi “DDI-AG. Abdurrahman Ambo Dalle” di mana saya di dalamnya juga turut membubuhkan tanda tangan, sebagai wujud rasa kecintaanku kepada DDI dan kepada amanah ibuku. Karenanya, saya tahu persis gerangan apa yang berkecamuk dalam pikiran-pikiran kaum reformis DDI itu. Saya lebih suka menyebut “DDI-AG. Abdurrahman Ambo Dalle” sebagai sebuah gerakan para ulama dan kebangkitan kaum intelektual muda DDI. Ia adalah sebuah bentuk perlawanan yang ingin membebaskan DDI dari berbagai kepentingan politik dan mengembalikan DDI ke pangkuan para ulama yang berbasis pesantren, seperti yang terlihat pada mabdanya tahun 1938.

***

Berbicara tentang DDI maka mau tak mau kita juga harus membicarakan Anre Gurutta (AG) [1]H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Sebuah nama yang menyimpan begitu banyak kenangan dan pengalaman spritual bagi bangsa Indonesia. Beliau adalah tokoh yang selalu hidup di hati para pendukungnya. Tidak diketahui dengan pasti kapan tanggal kelahirannya, hanya tahunnya diperkirakan sekitar tahun 1900 di Desa Ujungngé Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Itu berarti beliau hidup dari empat zaman, mulai dari zaman feodal, Belanda, Jepang dan kemerdekaan. Ternyata warna-warni zaman itu turut mempengaruhi dinamika perjalanan dan perjuangan hidup Sang Gurutta. Pasang-surut kehidupannya selalu diwarnai oleh situasi zaman, yang mengukuhkannya sebagai tokoh yang kokoh dalam menjawab setiap tantangan yang dihadapinya.
Beliau adalah figur yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk membangun dan mencerdaskan bangsanya melalui pembangunan yang berbasis nilai-nilai Islam. Salah satu warisan monumentalnya adalah Darud Dakwah Wal-Irsyad (DDI), sebuah lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial, yang berbasis pada kepemimpinan ulama dan pesantren. Didirikan di tengah-tengah kancah perjuangan revolusi bangsa Indonesia yaitu pada tanggal 21 Desember 1938 di Mangkoso sebagai cabang Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di sengkang. MAI lalu berubah menjadi Darud Da’wah Wal-Irsyad pada tanggal 7 Pebruari 1947 di Watang Soppeng. Dalam wadah inilah Gurutta mencurahkan seluruh hidupnya hingga hampir-hampir setiap membicarakan dirinya tak bisa lepas tanpa membicarakan pula DDI. “Seluruh milikku adalah miliknya DDI, namun milik DDI bukanlah milikku”, begitu selalu ia katakan di setiap pembicaraannya.
Gurutta telah mengantarkan DDI dalam sebuah perjalanan panjang yang berliku. Dalam kurun waktu itu, DDI telah mengalami berbagai fase yang secara evolutif telah teruji oleh zaman, yang menjadikannya sebagai salah sebuah lembaga Islam tertua di Sulawesi Selatan yang cukup disegani. Hampir di seluruh Indonesia, bahkan di Asia Tenggara terdapat cabang-cabangnya terutama di kantong-kantong pemukiman orang Bugis rantau.
Pada tanggal 29 Nopember 1996, Gurutta dipanggil menghadap oleh Yang Maha Pencipta. Bersamaan dengan itu, pelan-pelan aura DDI pun mulai redup bahkan sayup-sayup sudah mulai ditinggalkan oleh publiknya. DDI pun dikepung oleh berbagai masalah baik secara internal maupun eksternal. Secara internal: terlihat pada terlepasnya kepemimpinan ulama dan pesantrennya, cara pengelolaan managemen DDI yang tidak profesional, tidak adanya fungsi pengawasan yang melekat. Secara eksternal, problem utama yang dihadapi oleh DDI adalah sistem pendidikan nasional, yang tidak memberi tempat dan proporsi yang pas dengan tuntutan pendidikan yang berbasis pada pesantren, ancaman globalisasi yang menawarkan referensi baru bagi generasi muda, serbuan media massa yang satu arah, yakni dari pusat ke daerah. Akibatnya, panutan generasi baru pun bukan lagi pada ulama, tapi telah berpindah ke internet, TV, dan berbagai media lainnya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa DDI bagai berdiri di simpang jalan, di satu sisi kakinya berdiri pada keinginan untuk mengembalikan DDI seperti semula, namun di sisi yang lain ia harus mempersiapkan diri menghadapi tantangan masa depan yang jauh lebih kompleks dan beragam. Karena itu diperlukan strategi baru dan penataan ulang yang memperlihatkan cirinya sebagai lembaga yang berwibawa, yang mampu menciptakan proses dialektika dan kesinambungan sejarah dari yang lalu, kini, dan akan datang.
Atas dasar kesadaran itulah maka “DDI-AG.Abdurrahman Ambo Dalle” dideklarasikan, yang salah satu ciri utamanya memberi peranan yang lebih besar kepada ulama. Dalam struktur organisasi, para ulama ditempatkan pada sebuah dewan yang diberi nama dengan “Majelis Syura”. Dewan ini bukan hanya dipajang sebagai penasehat seperti yang terlihat pada struktur yang lama. Mereka benar-benar fungsional, yang dapat mengontrol jalannya organisasi yang dikendalikan oleh “Majelis Pengurus”. Dengan demikian, praktek kekuasaan yang sewenang-wenang dan cenderung diktator dapat dihindari. Majelis Dewan Syura juga mempunyai wewenang mengangkat dan memberhentikan Majelis Pengurus. Semua kebijakan itu dilakukan dengan berpatokan arus bawah. Lalu kemudian suara arus bawah tersebut digodok oleh Dewan Syura yang rujukan utamanya adalah syariat Islam.

***

Bila kita memperhatikan struktur kepengurusan DDI versi Prof.Dr. H. Muis Kabry (kopi SK-nya terlampir), maka di situ terlihat bahwa lebih dari separuh pengurusnya telah hengkang dan memilih ke DDI-AG.Abdurrahman Ambo Dalle (Naskah deklarasi, penandatangan dan pengurus sementara Majelis Syura) terlampir. Dan ketika hal itu didengar oleh Menko Kesra, H. Yusuf Kalla, serta-merta beliau berkomentar: “apa yang dilakukan oleh para ulama itu adalah sebuah tradisi Bugis yang telah dipraktekkan oleh orang-orang Bugis sejak ratusan tahun yang lampau”. Bila orang Bugis tidak lagi suka kepada pemimpinnya, maka ada berbagai cara yang dilakukannya, antara lain: 1) mengamuk 2) menghakimi pemimpinnya, biasanya mereka membunuhnya, 3) atau ramai-ramai meninggalkannya. Itulah sebabnya dalam sejarah disebutkan, bahwa gelombang emigrasi terbesar di Indonesia adalah suku Bugis, dan kebanyakan penyebabnya adalah meninggalkan kampung halamannya bukan karena miskin, tapi biasanya karena protes terhadap pemimpinnya. Tentu saja, para ulama kita tidak melakukan cara seperti nomor 1 dan 2 di atas, tapi memilih cara yang ketiga. Mereka tidak meninggalkan kampung halamannya, tapi memilih rumah yang lain, yang lebih teduh, yang lebih sejuk, yang lebih damai. Mereka tidak mendirikan rumah tandingan, karena ulama bukanlah pada tempatnya untuk dipertandingkan, apalagi dipertandingkan dengan seorang Muis Kabry.

Makassar, 21 Nopember 2003

Nurhayati Rahman, ketua divisi Ilmu Sosial Humaniora, Pusat Kegiatan Penelitian Unhas
[1] Sapaan sekaligus gelar tradisionil orang Bugis kepada ulama.

No comments: